Kamis, 27 Januari 2011

MENJALANI HIDUP BERBEKAL SABAR DAN SYUKUR

Oleh : Anas Nasrudin*

Judul : CATATAN CINTA IBU DAN ANAK : Perjuangan Seorang Ibu Transfusi Seumur Hidup Bakti Seorang Anak Mendampingi Ibu dalam Menghadapi Masa-Masa Kritis
Penulis : Pipiet Senja & Adzimattinur Siregar
Penerbit : Penerbit Jendela Zikrul Hakim
Cetakan : 1 April 2010
Jumlah halaman : 256

Menelusuri lembar demi lembar catatan duet ibu dan anak ini memaksa emosi saya teraduk-aduk. Kadang iba, geram, hingga terpingkal-pingkal. Iba lantaran membayangkan perihnya ujian hidup yang dialami keduanya terutama oleh Pipiet Senja yang mesti menjalani transfusi seumur hidup, geram menyimak perlakuan tidak manusiawi yang dipraktikkan pihak rumah sakit terhadap pasien-pasien kurang mampu, dan terpingkal-pingkal membacai dialog-dialog lucu dan gaul khas ibu dan anak—saat-saat kritis pun keduanya selalu adu banyolan.

Buku bercover warna putih dengan latar seorang ibu dan anak yang saling berpelukan erat lengkap dengan tiang infus dibelakangnya, membuat saya merasakan dua hal. Pertama, hebatnya derita sakit yang dirasakan sang ibu hingga berusaha meredamnya dengan membenamkan diri dalam pelukan anaknya. Kedua, besarnya rasa cinta antar keduanya melalui ekspresi saling peluk erat.

Awalnya saya agak bingung saat membaca buku ini. Hampir melahap separuh isinya, saya belum juga menemukan tulisan Adzimattinur Siregar, hingga membuat saya bertanya-tanya, apakah yang dimaksud catatan duet oleh ibu dan anak ini hanya merupakan dialog-dialog antar keduanya. Namun setelah merampungkannya, saya baru tahu kalau catatan Adzimattinur Siregar ada di bagian 8 bab terakhir buku ini. Ini agak unik karena umumnya catatan duet selalu diberi keterangan siapa penulisnya pada tiap judul bab. Sementara dibuku ini pembaca dibiarkan menebak langsung mana tulisan sang ibu mana tulisan sang anak melalui alur tulisan yang keduanya buat.

Catatan ibu dan anak yang sama-sama berprofesi sebagai penulis ini telah menampar dan menyadarkan saya tentang pentingnya memiliki sikap sabar dan syukur sebagai bekal menjalani hidup. Sabar saat diterpa ujian dan syukur saat dianugerahi kebahagiaan. Tentu bukan sabar dalam arti patalis atau pasrah atas nasib. Dengan segala keterbatasan keuangan lantaran biaya pengobatan selangit serta perlakukan tidak menyenangkan dari pihak rumah sakit, keduanya terus memaksimalkan ikhtiar. Sang ibu (Pipiet Senja) terus menulis dan berkarya walau dengan kondisi tangan biru-bengkak lantaran harus sering disuntik jarum infus, sementara Butet sapaan untuk Adzimattinur Siregar disela-sela aktivitasnya kuliah ia selalu mondar-mandir Jakarta-Depok mencarikan ibunya suplai darah ke PMI serta menjagai dan mengurusi keperluan ibunya setiap saat. Kesabaran keduanya pun dijawab Allah melalui rejeki tak disangka-sangka, yang mengucur dari banyak pihak terutama rekan-rekan Pipiet Senja dari jejaring sosial dan dari Ma’jlis Taklim yang banyak membantu meringankan biaya pengobatan.

Dengan menyaksikan pasien-pasien lain yang lebih menderita dan orang-orang yang kurang beruntung lainnya keduanya pun selalu bersyukur, bahkan sekedar menikmati lukisan indah bintang-bintang dilangit keduanya selalu bersyukur.

Catatan yang ditulis dengan airmata ini tidak melulu mengumbar dramatisasi kesedihan melainkan juga berisi tips-tips menghadapi njlimet-nya prosedur rumah sakit, serta membeberkan fakta sikap-sikap dokter dan perawat yang memposisikan pasien sebagai kelinci percobaan yang berbuntut malpraktek. Namun ada sedikit catatan Pipiet Senja yang terasa keluar dari tema besar yakni penggalan cerita-serita horror di dapur dan di belakang rumahnya (lih.201-207) yang tak berkaitan dengan saat-saat ia kritis sebagaimana judul buku ini. Ia mungkin keceplosan karena awalnya menceritakan cerita horror sekaligus lucu ketika nyasar di kamar mayat hingga disangka kuntilanak oleh sepasang remaja yang lari tunggang langgang sambil meneriakinya kutilanaaaak (lih.184).


Walau begitu, buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang rindu hikmah dan pelajaran hidup. Penulis pemula akan terlecut semangatnya saat membaca usaha Pipiet Senja yang terus menulis hingga “berdarah-darah”, orang yang sakit akan diingatkan pentingnya kesabaran dan keyakinan pada Allah selama ikhitar mencari kesembuhan, bagi ibu dan anak yang kurang harmonis akan mendapati indahnya saling mencintai melalui sikap yang ditunjukan oleh Pipiet Senja dan Adzimattinur Siregar dalam buku ini. Wallahu’alam

*Penulis adalah Penikmat Buku berdomisi di Serang-Banten
Tinggal di Komplek Hegar Alam No. 40 Ciloang Serang- Banten 42118
Contact Person 081911005799

Kamis, 06 Januari 2011

GURU KOK ALERGI BUKU…?!

Oleh: Anas Nasrudin*

Tiga hari sebelum berlangsungnya acara. Gol A Gong sudah mengingatkan saya untuk ikut ke Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang. pada acara diskusi dihadapan 2000 calon wisudawan Universitas Terbuka yang akan diselenggarakan senin 29 November 2010. Minggu malam ba’da maghrib, saya, Gol A Gong, Muhzen Den (relawan Rumah Dunia) dan Pendi (supir pribadi Gol A Gong) berangkat membawa sekitar 200 buku terbitan Gong Publishing untuk dijual. Awalnya saya pesimis mengingat yang akan hadir menurut saya adalah orang-orang tua yang hanya mengejar pendidikan sebagai tuntutan karir agar memperbaiki status golongan yang berimbas pada kenaikan gaji. Sedari awal saya memprediksi bahwa mahasiswa jenis ini sangat jauh dari buku atau iliterer. Namun karena quota yang akan hadir cukup besar maka saya berbesar harapan setidaknya dari 2000 peserta saya memprediksi minimal ada 15 % yang akan membeli.

Sepanjang perjalanan menyusuri kilauan lampu jalanan pikiran saya terus berkecamuk mencoba menghitung peluang laku tidaknya buku esok pagi. Sekitar 2 jam perjalanan setelah beberapa kali menanyakan rute perjalanan kami sampai juga di kampus UT. Terlihat dari jalan, kampus UT terkesan kecil ditambah pintu gerbang yang sedang tahap renovasi menambah kesan bahwa banguan gedung UT tak akan beda jauh dengan gedung IAIN SMH Banten atau Untira. Tapi sesampainya didalam kami tercengang disuguhkan oleh bangunan megah dengan areal yang luas dan nyaman. Kami langsung disambut dan ditempatkan di wisma 2. sementara buku-buku untuk didisplay esok hari sudah ditaruh di dalam aula. Malam merambat pelan, di dalam kamar kami masih menonton televisi sambil mengkritisi kesemrawutan negeri. Sekitar pukul 01.00 pagi. Masing-masing dari kami mundur teratur dibuai mimpi.

Esoknya ba’da shalat subuh, sambil sarapan menikmati popmie saya melihat ke bawah dari kaca jendela kamar, terlihat para pedagang mengeliat bergerak mencari tempat yang strategis untuk mendisplay dagangannya masing-masing. Saya bersama Muhzen Den setelah sarapan langsung turun untuk menata buku-buku yang kami bawa. Setelah meminta saran pada satpam, kami pun memutuskan mendisplay buku di samping depan aula sebelah kanan. Mengingat arah pandang para pengunjung akan lebih leluasa melihat buku yang kami display dari berbagai arah.

Matahari merangkak naik, hari semakin siang. Para peserta gladiresik berdatangan disambut oleh para tukang photo yang sigap membidikkan kameranya. Saya bersama Muhzen Den bergantian menyebar leaftlat Ode Kampung 4 yang sengaja kami bawa. Satu dua orang mencoba melihat-lihat buku kemudian pergi tanpa minat. Menjelang Dhuhur para pedagang merangsek mendekati aula hingga membuat para satpam harus berteriak-teriak mengusirnya ketempat semula, sementara tukang photo tadi pagi terlihat sudah membawa photo-photo yang telah dicetak dan memburu serta mencocokkan dengan wajah orang-orang yang dibidiknya tadi pagi. Hingga Dhuhur menjelang dan para peserta makan siang, hanya ada dua orang yang tergerak membeli buku kami. Tiba-tiba turun hujan lebat dan angin kencang datang, membuat kami terpaksa berkemas merapihkan buku-buku agar tidak kehujanan.

Memang ironis, tapi inilah cermin pendidikan dikita, bayangkan dari 2000 peserta yang hadir notabenenya guru hanya 2 orang yang membeli buku. Hal ini mencuatkan pertanyaan besar, bagaimana mereka mengajar dan menyampaikan apa kepada peserta didik?

Rasanya kita mesti merombak total sistem pendidikan ini. Agar pendidikan tidak hanya jadi lahan bisnis dan lahan politik penguasa belaka. Bagaimana tidak mesti dirombak, jika budaya literasi yang mestinya hadir dan tumbuh dari lingkungan kampus sebagai jenjang tertinggi pendidikan justru mengkhawatirkan seperti ini.
fenomena diatas membuat saya ingin menyampaikan uneg-uneg tentang beberapa hal yang menurut saya mesti dirombak menyangkut sistem pendidikan sesat yang kadung berurat akar.

Pertama hilangkan pembelajaran yang mengandalkan buku paket atau diktat yang dibatasi. Seperti yang kita tahu bahwa pendidikan sejatinya adalah proses interaksi multi-kecerdasan antara pendidik dengan peserta didik. Buku paket biasanya menjadi satu-satunya rujukan yang digunakan oleh pendidik dan peserta didik. Kondisi seperti ini tak ayal mengerangkeng kreativitas dimana soal-soal dan jawaban-jawaban terjadi penyeragaman. Semestinya setelah silabus atau RPP matang dibuat, para pendidik berikut peserta didik diberi kebebasan mencari berbagai media atau sumber belajar dari buku dan media apa saja secara bebas sehingga ruang kreativitas terbuka lebar dan proses pembelajaran menjadi penuh warna bukan penyeragaman.

Kedua tak ada guna sertifikasi. Sertifikasi hanya akan menumbuhkan guru-guru robot yang terpaksa oleh kebutuhan, tak sedikit saya temui guru-guru yang pontang-panting mengajar kesana kemari hanya untuk mengejar sertifikasi, sehingga sekolah hanya menjadi alat untuk memenuhi tujuannya, seminar-seminar hanya menjadi basa-basi mengumpulkan sertifikat.

ketiga ganti tugas akhir kuliah dengan menyetorkan buku yang telah diterbitkan oleh penerbit, bukan semata-mata skripsi yang dibimbing dan diuji dosen. Ini mungkin terkesan berat, tapi mesti dilakukan demi penyelamatan kondisi pendidikan. Saya berani mengatakan bahwa skripsi sekarang ini, di kampus manapun tidak 100% benar-benar digarapkan dengan serius, tak sedikit mahasiswa yang meraih sandang gelar sarjana tanpa benar-benar paham skripsi yang ditulisnya.

Dengan menugaskan para mahasiswa menyetorkan buku yang berhasil dia terbitkan pada penerbit yang tersebar di Indonesia, dengan sendirinya para sarjana akan belajar bagaimana sulitnya menembus sistem penerbitan, lebih akrab dan belajar langsung dengan dunia perbukuan. Sehingga tak ada lagi sarjana yang benar-benar menjadi pengangguran tingkat tinggi, minimal seorang sarjana bisa menjadi penulis setelah keluar dari kampusnya.

keempat jenjang pendidikan dihilangkan saja, karena belajar tak kenal akhir. Pemerintah cukup memfasilitasi aneka kebutuhan perlengkapan pendidikan sesuai yang ditargetkan, biarkan masyarakat belajar bersama-sama sehingga anak kecil bisa belajar dari orang dewasa. Dan orang dewasa mampu memahami jiwa kanak-kanak. Karena belajar adalah kehidupan keseharian itu sendiri. Yakni pergulatan hidup dengan lingkungan alam dan sesama manusia.

kelima belajar tak melulu dari orang, melainkan menggali sumber bahan bacaan. Tradisi ini yang banyak luput dari perhatian kita, dimana proses pembelajaran umumnya biasa dilakukan melalui proses tatap muka. Peserta didik mendengarkan pendidik menjelaskan. Sehingga sehebat apapun kecerdasan dan kemampuan peserta didik tetap berada dibawah kendali seorang pendidik atau di anggap lebih bodoh dari sang pendidik.


Semoga ceracauan saya ini dibaca oleh mereka yang merasa menjadi guru. Tanyakan pada diri masing-masing. Guru alergi bukukah anda?

* Penulis adalah Alumni IAIN SMH Banten kini belajar sekaligus menjadi relawan di Rumah Dunia.


.

SANG PENCERAH: KRITIK ATAS RITUALITAS

Oleh : Anas Nasrudin*

Judul : SANG PENCERAH: Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan. Bandung
Tebal : 461 + xviii
Cetakan : iii (Okt 2010)

Novel sang pencerah merupakan novel kedua Akmal Nasery Basral yang ditulis berdasarkan scenario film setelah novel Naga Bonar Jadi 2. Semenjak memutuskan hengkang dari dunia jurnalistik dan berfokus menyelami ranah non jurnalistik, novel kedua ini adalah pembuktian akan produktivitasnya dalam menulis. Berbeda dengan novel yang diangkat berdasarkan scenario pada umumnya, Akmal tidak hanya memindah-mediakan dari wilayah visual film kedalam entepan kata dalam lembaran kertas, melainkan ia berusaha memperkuat dan memperdalam materi cerita dengan penggalian referensi yang kaya. Sehingga para penikmat film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo akan mendapat suguhan yang berbeda saat membandingkan film dengan membaca novel ini.

Saat menelusuri lembar-perlembar halaman buku novel sang pencerah ini, terasa betul sosok dan watak Ahmad Dahlan yang kritis dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi, dengan santun ia mengugat dan mempertanyakan tradisi ritual yang kadung berurat akar di masyarakat kala itu, seperti acara padusan dan kirim doa kepada orang yang telah meninggal, agar masyarakat tidak terkungkung oleh ritual tradisi yang memberatkan. Dengan kemampuan yang ia miliki Dahlan juga selalu berusaha mengayomi masyarakat kecil, seperti memberi makan dan menyekolahkan pengemis dan gelandangan yang ditemuinya di jalanan. Tak hanya itu dengan piawai Akmal mampu menghadirkan kisah perjalanan hidup Ahmad Dahlan yang penuh konflik dan perlawanan dalam memperjuangkan organisasi Muhammadiyah. Sebagian orang menggugat bahwa novel ini bukan merupakan novel sejarah. namun terlepas dari itu semua, suatu karya sastra bukanlah kitab sejarah yang diperuntukkan bagi kepentingan para peneliti semata, melainkan suatu karya tulis yang dibuat untuk membeberkan pesan moral bagi pembacanya.

Melalui novelnya ini, seolah Akmal hendak menjawab kompleksitas problematika sistem keberagamaan yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. terutama menyangkut tiga hal, yakni; Tentang polemik pergeseran arah kiblat, kekerasan atas nama agama, serta wajah muram dunia pendidikan Islam.

Tentang Polemik Pergeseran Arah Kiblat.

Sekitar pertengahan 2010 masyarakat muslim Indonesia dibuat resah dan bingung oleh fatwa MUI yang mengintruksikan perbaikan arah kiblat yang dianggap telah melenceng beberapa dejarat dari arah yang seharusnya. Ada yang manut, ada pula yang bertahan dengan keyakinan bahwa shalat bukan semata-mata kearah mana kita menghadap melainkan hati yang tulus ikhlas menghadirkan Tuhan di saat shalat.

Melalui tokoh sentral Ahmad Dahlan, secara halus Akmal mencoba meluruskan kekeliruan pemikiran seperti itu, jika Nabi saja diperintahkan Allah merubah arah kiblat dari Yerusalem ke Makah dan beliau manut, itu artinya Allah telah memposisikan Kabah sebagai tempat atau arah yang akan mempersatukan muslim seluruh dunia. Sulit dibayangkan apabila penganut Islam shalat menghadap kearah sekehendak hati masing-masing. Sekali lagi ka’bah bukanlah Tuhan tempat kita menyembah, melainkan titik fokus untuk mempersatukan umat.

Kekerasan Atas Nama Agama

Sebagaimana telah kita ketahui, kehadiran agama merupakan solusi atas kompleksitas problematika kehidupan manusia. Namun dalam banyak kasus justru kebalikannya yang mencuat kepermukaan, hanya karena perbedaan paham dan keyakinan suatu kelompok agama harus menghancurkan kelompok lain, sehingga perbedaan yang diisyaratkan Rasul sebagai rahmat tumbuh berkembang menjadi laknat.

Akmal kembali menyindir akan hal ini dengan menceritakan bagaimana langgar kidul tempat belajar mengajar Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya harus dibongkar paksa oleh kelompok pembesar Masjid Gedhe hingga rata dengan tanah, lantaran sedikit bersebrangan paham. Sikap kritis Ahmad Dahlan dianggap telah menggoyahkan tatanan masyarakat yang telah ada. Bahkan secara sadis oleh sebagian masyarakat kala itu Ahmad Dahlan diklaim sebagai kyai kafir yang mengajarkan kesesatan.

Rupanya hal ini masih kerap terjadi hingga hari ini. Dengan dalih atas nama agama, orang melegalkan tindak kekerasan yang jelas-jelas mengganggu stabilitas dan ketentraman masyarakat. Merasa dirinya paling benar dan merendahkan yang berbeda, memposisikan diri sebagai ahli surga dan yang lain di neraka. Merendahkan martabat Tuhan dibawah egoisme liberal manusia.

Apabila para pemeluk agama mau berpikir terbuka dan menyederhanakan persoalan, agama tak lebih ibarat menu-menu yang ada di restoran. Dimana Tuhan sebagai pemilik restoran, para pramusaji sebagai nabi, malaikat, dan utusan penyampai pesan, dan draf menu sebagai kitab suci pedoman, sedangkan kita pemeluk agama sebagai konsumen.
Jadi agama hanya soal selera, kita tidak bisa saling memaksakan. Tugas kita selaku konsumen atau pemeluk agama adalah duduk bareng dalam satu meja menikmati menu sesuai selera masing-masing sambil berembug mencari solusi atas permasalahan kemanusiaan seperti kemiskinan, kebodohan, dekadensi moral, korupsi, dan segala bentuk permasalahan sosial lainnya. Karena itulah inti kehadiran agama. Solusi aneka persoalan hingga akhir zaman.


Wajah Muram Dunia Pendidikan Islam.

Akhir-akhir ini banyak diberitakan sikap kasar seorang guru dalam mendidik muridnya, bahkan tak jarang ada guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya, padahal merupakan guru agama. Patut disayangkan guru yang seharusnya digugu dan ditiru malah memberi kesan hal yang tidak baik pada anak didiknya.
Akmal pun kembali menyentil hal ini dengan menceritakan bagaimana kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan materi keagamaan yang sederhana dan meninggalkan kesan yang mendalam bagi murid-muridnya. Dahlan mampu menyampaikan pesan keislaman melalui kelihaiannya menggesek dan memainkan biola, sebagaimana keindahan suara biola yang dimainkan oleh ahlinya begitu pun dengan Islam, indah, damai, dan menyejukan hati. Sebaliknya saat biola diserahkan kepada sang murid yang tak bisa memainkannya maka suaranya pun menyakiti telinga. Ibarat Islam yang disampaikan oleh orang yang kurang memiliki pengetahuan maka akan terkesan angker, keras dan menakutkan, yang berujung pada kesesatan.


Dilain cerita, Akmal memberi pesan tentang sikap bijak seorang guru menghadapi muridnya melalui kentut yang terdengar dari murid Ahmad Dahlan kala itu, alih-alih marah sebagai guru Dahlan justru mampu membahas itu menjadi tema yang menarik, sehingga para murid menjadi sadar akan pentingnya bersyukur dan menjaga etika sopan santun. Kentut pun menjadi sesuatu yang berharga untuk disyukuri.
Terakhir Meminjam komentar Abdul Mu’ti novel ini layak dibaca bagi para pendidik, orangtua, tokoh agama, dan siapa saja yang ingin menimba kearifan. Wallahu’alam.

* Penulis adalah Penikmat Buku, berdomisili di Serang-Banten

Rabu, 05 Januari 2011

BERKACA KEPADA GURU BANGSA

Oleh: Anas Nasrudin*


Judul buku : Sejuta Hati Untuk Gusdur (Sebuah Novel dan Memorial)
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama 2010
Tebal : 426

Masih hangat diingatan kita, dipenghujung 2009 awal 2010, seluruh rakyat Indonesia berkabung dengan berpulangnya K.H. Abdurrahman Wahid ketempat keabadian. Lelaki yang akrab disapa Gusdur ini begitu dielu-elukan oleh berbagai kalangan sebagai pahlawan bagi negeri ini, selain karena sempat melenggang ke istana sebagai presiden ke-4, Gusdur juga menjadi milik hampir semua kalangan. Artis, seniman, politisi, hingga rohaniawan. Semua itu tidak lain berkat kiprahnya yang mampu berbaur dengan semua kalangan, tanpa pernah memandang status apapun. Gusdur orang yang akan bersuara vokal jika hak-hak rakyat kecil direndahkan. Semua itu berkat gemblengan kakek dan orang-tuanya serta lingkungan pesantren yang membesarkannya.

Hal ini tentu membuat para pecintanya ingin mengetahui lebih jauh bagaimana kiprah Gusdur semasa hidup, semenjak kelahiran hingga menjelang kepergian kepangkuan Tuhan. Kehadiran novel Damien Dematra ini merupakan hadiah istimewa bagi siapapun yang memposisikan Gusdur sebagai idola sekaligus inspirasi dalam hidupnya. Damien mengakui saat mendengar kepergian Gusdur ke keabadian ia sedang melakukan casting untuk para pemeran film Gusdur The Movie hingga tak heran apabila novel yang cukup tebal ini, mampu ia rampungkan hanya dalam tempo 3 hari.


Si Kutu Buku yang Unik

Di prolog buku ini Damien menceritakan perjalanan KH. Hasyim Asy’ari (kakeknya Gusdur) saat belajar di Mekah hingga kepulangannya ke kampung halaman. Melihat kemerosotan moral di lingkungan sekitarnya Hasyim Asy’ari pun berinisiatif membangun pondok pesantren Tebuireng sebagai upaya menyumbangkan ilmu yang telah ia raih selama belajar di Mekah. Melihat kemajuan zaman yang semakin pesat Wahid Hasyim (bapaknya Gusdur) mengusulkan agar silabus pelajaran di pesantren diperbaharui sesuai semangat zaman. Melalui pernikahan Wahid Hasyim yang modernis dengan Solichah lah Gusdur lahir. Masa kanak-kanak ia lewati seperti bocah kebanyakan, bermain kejar-kejaran, berenang di sungai, main petak umpet, dan permainan khas anak-anak kampung lainnya. Namun Gusdur kecil agak berbeda dalam beberapa hal ia memiliki kecerdasan yang jenius, hobi membaca, dan sedikit rewel selalu ingin tahu, hingga ajudan ayahnya pun kadang kewalahan meladeni pertanyaan beruntun dari Gusdur.

Sebagai ayah yang bijak Wahid mengerti anaknya, ia selalu memberikan bahan bacaan dan merangsang Gusdur terus banyak membaca dan membaca, hingga saat Gusdur berpetualang dari satu pesantren ke pesantren yang lain Gusdur selalu membawa buku bacaan. Di novel ini ditulis bagaimana Gusdur selalu menyertakan buku kemanapun ia pergi, bahkan ketika di Mesir ia jarang masuk kampus, rutinitasnya ia habiskan dengan melahap buku, menonton bioskop, dan mengurusi organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada di Mesir. Sebelum ke Cairo ia telah melahap buku-buku asing, seperti La Porte Etroite, For Whom The Bell Tolls (Ernest Hemingway), Das Capital (Karl Marx), Romantisme Revolusioner (Lenin Vladimir Illich) dipinjami oleh ibu guru di sekolahnya (h.158). ia pun membeli sendiri buku-bukunya di pasar loak seperti karya: William Bochner, John Steinback, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega y. Gasset, Mao Ze Dong, Plato, Lenin, dll.(160) kebiasaannya ini membuat kemampuan penglihatannya menurun hingga harus mengenakan kacamata berlensa tebal.

Saat di Mesir ia enggan masuk mengikuti pelajaran di universitas, karena ia telah menghafalnya sewaktu mengenyam pendidikan di pesantren. Baginya tidak penting mengulang apa yang telah ia alami dan lakukan, karena hanya akan menghabiskan waktu dan menguras tenaga sia-sia. Jiwanya selalu haus akan hal-hal baru. Dan dengan membaca sebanyak-banyaknya ia telah menemukan banyak hal yang terus membuatnya haus membaca. Tak jarang saat ia asyik membaca di suatu café di Mesir ia selalu menjadi pengunjung terakhir sebelum café itu tutup.
Itulah Gusdur ia selalu haus pengalaman dan hal-hal baru, ia lebih banyak belajar secara otodidak, melihat pertunjukan teater atau pagelaran seni, dan menonton bioskop.

Mencintailah Maka Akan Dicintai

Sebagai suami dan sebagai ayah Gusdur begitu dicintai oleh istri serta anak-anaknya, sebagai anak dan cucu ia begitu dicintai orang-tua dan kakeknya. Di hadapan istrinya tanpa segan ia ikut mengepel dan mencuci perabotan dapur, memandikan dan mengganti popok anaknya, membantu membungkus kacang goreng jualan istrinya. Sering menghadiahi putri-putrinya buku dan cat air setelah ia bepergian. Sewaktu kanak-kanak ia selalu manut tak pernah membantah kakek dan kedua orangtuanya. Kepedulian sosial dan keberaniaannya sudah ia tunjukan semenjak kecil, ia berani meminta batang tebu untuk dibagi dengan teman-temannya selepas bermain petak umpet, memberi pelajaran terhadap anak yang usil mengerjai Mbok penjual uduk di sekolahnya, hingga ia rela dihukum-jemur bermandi matahari oleh sang guru karena perbuatan heroiknya itu.


Saat ia terpilih menjadi presiden banyak sumbangsihnya untuk membingkai kebhinekaan dengan semangat persamaan dan kedamaian, ia membela kaum terpinggirkan atau kaum minoritas, memberi kebebasan kepada para pemeluk agama agar dengan damai dan tenang bisa menjalankan peribadatannya dengan aman dan terlindungi Negara. Membuat peringatan hari libur nasional untuk tiap peringatan hari keagamaan, rajin bersilaturahmi terhadap semua kalangan. Dimatanya tak ada beda pejabat dan rakyat jelata. Begitu banyak pernak-pernik kehidupan Gusdur yang bisa kita pelajari dari novel ini. Kehadiran novel ini sedikitnya akan memberi kesegaran dan spirit baru bagi pembacanya di tengah kondisi bangsa yang semerawut oleh aneka persoalan seperti saat ini